Serupa Tapi Tak Sama: Kenali Perbedaan Komponen Busana Adat Yogya dan Solo
Yogyakarta dan Surakarta adalah dua wilayah ternama di bagian tengah Pulau Jawa. Keduanya berkerabat erat karena merupakan pecahan dari Kerajaan Mataram di masa lampau. Kini masing-masing menjalankan sistem kesultanan (Jogja), kasunanan (Solo), dan kadipaten (Jogja: Pakualaman dan Solo: Mangkunegaran).
Meskipun memiliki kemiripan di berbagai aspek, ternyata terdapat perbedaan dalam komponen busana adatnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh sejarah, fungsi, dan makna filosofisnya.
Mari kita pelajari lebih lanjut agar bisa mengidentifikasi busana adat berdasarkan asal usulnya!
Blangkon
Blangkon Solo dan Jogja. (Sumber: Tirasenna Wedding)
Blangkon yang diletakkan di kepala memiliki dua makna filosofis. Pertama, untuk menjaga agar segala ide dan pemikiran berada dalam koridor yang tepat dan membawa berkah bagi sesama manusia. Selain itu, blangkon juga menjadi analogi pemilik alam semesta yang menaungi manusia sehingga dalam menjalankan amanah, manusia harus selalu patuh dan taat pada Tuhan.
Kala itu, pria Jawa di Jogja berambut panjang dan harus digelung. Dari sana muncullah blangkon Jogja dengan mondolan (gelung belakang) yang menonjol dan cukup besar untuk menyimpan gelungan. Ciri khas ini menunjukkan bahwa aib harus disembunyikan serta perasaan harus disimpan rapat demi menjaga perasaan orang lain.
Sementara itu, pria Jawa di Solo sudah mengenal cukur sehingga rambutnya pun pendek. Blangkon Solo mengadaptasinya dengan desain 2 pucuk ikatan yang disatukan, bermakna 2 kalimat syahadat yang dipegang teguh dalam menjalani hidup.
Surjan dan Beskap
Surjan kembang Jogja. (Sumber: Blog Ilmubahasajawa)
Pakaian pria adat Jogja dan Solo pun berbeda dari segi nama maupun desain. Surjan, sebutan bagi atasan pakaian pria Jogja, memiliki kancing yang terletak lurus dari atas ke bawah. Terdapat 2 jenis motif surjan yaitu lurik dan kembang.
Beskap Solo. (Sumber: Aitv Pekanbaru)
Di Solo, atasan pakaian pria dinamakan Beskap, yang berasal dari bahasa Belanda beschaafd yang berarti kebudayaan. Bentuknya menyerupai jas dengan ciri khas kancing yang menyamping miring.
Jadi, tidak semua pakaian pria adat Jawa disebut Beskap, ya!
Wiru
Wiru Jogja. (Sumber: Blog Mypillowcase)
Wiru adalah seni melipat kain batik atau jarik. Pada wiru Jogja, bagian garis putih di ujung jarik diperlihatkan dan kadang dilipat-lipat kecil. Sementara pada wiru Solo berlaku sebaliknya; bagian garis putih di ujung jarik disembunyikan dengan cara dilipat ke dalam.
Corak Batik
Corak batik Solo (kiri) dan Jogja (kanan). (Sumber: Tirasenna Wedding)
Jika Anda melihat batik Jawa berwarna putih dengan corak hitam, kemungkinan besar itu adalah batik Jogja yang penggunaan motifnya diatur secara ketat oleh Keraton. Pemakaian wastra batik khusus motif parang dan lereng menurut adat Jogja yaitu dililitkan miring dari kiri atas ke kanan bawah. Sementara jalur kemiringan desain parang Jogja dimulai dari kanan atas ke kiri bawah.
Berbeda halnya dengan batik Solo yang berwarna kuning dengan corak putih. Pemakaian wastra batik parang dan lereng Solo dilakukan dengan melilitkan miring dari kanan atas ke kiri bawah. Jalur kemiringan desain parang Solo pun berkebalikan dengan Jogja, yaitu dari kiri atas ke kanan bawah.
Terasa simpel tapi mudah tertukar jika diingat-ingat, ya.
Meskipun memiliki ciri khas masing-masing, terdapat motif batik yang persis sama dengan nama berbeda. Misalnya, motif Parang Sarpa di Solo disebut sebagai Golang Galing di Jogja. Begitu juga dengan motif Liris Cemeng di Solo yang disebut Rujak Senthe di Jogja.
Sekarang, sudah tahu kan, perbedaan kedua busana adatnya? Terus latih kepekaan visual Anda terhadap kekayaan tradisi Indonesia!
Referensi: Tirasenna Wedding
Leave a comment
This site is protected by hCaptcha and the hCaptcha Privacy Policy and Terms of Service apply.